Minggu, 16 November 2014

analisis keanekaragaman tumbuhan bawah hutan tridarma USU


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang mantap. Keanekaragaman ekosistem, tercakup di dalamnya genetik, jenis beserta lingkungannya. Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling kompleks. Berbagai keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia misalnya ekosistem hutan, lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berbagai ekosistem lainnya. yang terbentang dari mulai gunung sampai ke laut. Keanekaragaman hayati menyediakan berbagai barang dan jasa, mulai dari pangan, energi, dan bahan produksi hingga sumber daya genetik bahan dasar pemuliaan tanaman komoditas serta obat. Selain itu keanekaragaman hayati juga berfungsi untuk mendukung sistem kehidupan, seperti menjaga kualitas tanah, menyimpan-memurnikan dan menjadi reservoir air, menjaga siklus pemurnian udara, siklus karbon, dan nutrisi Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi (Primack,1998).
Hutan adalah salah satu kekayaan bumi Indonesia yang tidak ternilai dan merupakan sebuah ekosistem dengan kandungan kekayaan alam yang sangat potensial untuk digali serta digunakan untuk kepentingan manusia. Tetapi, selalu ada sebuah komitmen dalai usaha pendayagunaan hutan sebagai aset alam. Yaitu komitmen yang tertuang dalam konsep asas manfaat dan lestari. Ini berarti, kegiatan pemanfaatan hutan harus diimbangi dengan upaya pelestariannya. Pemanfaatan hutan tidak boleh melanggar kelestarian lingkungan hutan yang terus dijaga dan dipelihara. Untuk keperluan tersebut, perlu kiranya diketahui potensi yang ada pada hutan tersebut. Salah satu pendekatannya yaitu dengan mengetahui besarnya biomassa pohon yang merupakan salah satu komponen penting dalam hutan (Odum,1966).
Dari keanekaragaman sumber daya hayati di hutan primer tersebut tidak hanya terbatas pada jenis tumbuhan berkayu, namun juga ditumbuhi oleh beranekaragam tumbuhan bawah yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Tumbuhan bawah juga menjadi salah satu bagian dari fungsi hutan. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah yang sangat tinggi menyebabkan adanya kemungkinan masih banyak jenis-jenis tumbuhan bawah lainnya yang belum teridentifikasi, sehingga kita tidak mengetahui dengan jelas bagaimana keanekaragaman tumbuhan bawah yang sebenarnya. Berbagai aspek yang dapat diamatai dalam rangka pengukuran keanekaragaman sumber daya hayati adalah : jumlah jenis, kerapatan atau kelimpahan, penyebaran, dominasi, produktivitas, variasi di dalam jenis, variasi atau keanekaragaman genetik, laju kepunahan jenis, nilai jenis atau genetik, jenis asli (alami) atau asing, dan berbagai indikator lainnya (Suin, 2002).
Memelihara keanekaragaman mahluk hidup adalah dasar dalam perkembangan kelestarian ekologi terhadap tiga alasan mendasar, yaitu :  keanekaragaman mahluk hidup sangat penting dalam memelihara kelangsungan hidup dari sistem ekologi yang mendukung produktivitas pada zaman sekarang; kebutuhan masa mendatang yang tidak dapat diprediksi dan mempunyai nilai potensial dari spesies yang dapat punah; dan pemahaman kita terhadap ekosistem adalah tidak cukup meyakinkan atas peranan mereka dan untuk menentukan pengaruh dari penghapusan dari komponen-komponen yang ada. Kehilangan dari sebuah ekosistem yang kritis dapat mempunyai efek yang tidak dapat balik dan bencana besar. Antara kesehatan manusia dan produktivitas hasil pertanian yang tinggi mengandalkan pemeliharaan dari keanekaragaman biota yang terdiri dari perkiraan 10 juta spesies-spesies dari tumbuhan-tumbuhan dan hewan-hewan (Kumar, 1995).

Tujuan
            Tujuan dari praktikum Analisis Keanekaragaman Tumbuhan Bawah ini adalah untuk menghitung dan mempelajari keanekaragaman tumbuhan bawah pada tingkat jenis di ekosistem hutan dan ekosistem non- hutan atau padang rumput.




 

TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman hayati merupakan konsep pentivng dan mendasar karena menyangkut kelangsungan seluruh kehidupan di muka bumi, baik masa kini, masa depan, maupun evaluasi terhadap masa lalu. Konsep ini memang masih banyak yang bersifat teori dan berhadapan dengan hal-hal yang sulit diukur secara tepat, terutama pada tingkat keanekaragaman genetik serta nilai keanekaragaman serta belum adanya pembakuan (standarisasi). Biodiversity adalah istilah untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran dari ekosistem, jenis dan genetik. Dengan demikian keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkat, yaitu: (1) keanekaragaman ekosistem, (2) keanekaragaman jenis, dan (3) keanekaragaman genetik. Oleh karena itu, biodiversity meliputi jenis tumbuhan dan hewan, baik yang makro maupun yang mikro termasuk sifat-sifat genetik yang terkandung di dalam individu setiap jenis yang terdapat pada suatu ekosistem tertentu. Pengukuran/pemantauan biodiversity dapat dilakukan dengan mengukur langsung terhadap objek/organisme yang bersangkutan atau mengevaluasi berbagai indikator yang terkait. Aspek-aspek yang dapat diamati dalam rangka pengukuran/pemantauan keanekaragaman hayati adalah: jumlah jenis, kerapatan/ kelimpahan, penyebaran, dominansi, produktivitas, variasi di dalam jenis, variasi/ keanekaragaman genetik, laju kepunahan jenis, nilai jenis/genetik, jenis asli (alami) atau asing, dan lain-lain (Onrizal, 2008).
Sinar matahari merupakan tenaga penunjang pertumbuhan dan perkembangan vegetasi. Penyebaran radisi matahari tidaklah merata di permukaan bumi, karena tergantung dari keadaan awan, ketinggian tempat, topografi, musim dan waktu dalam hari. Vegetasi yang mendapat sinar matahari secara terus menerus sepanjang tahun akan membantu tumbuh-tumbuhan dalam proses fotosintesis secara maksimum di siang hari. Hutan umumnya rapat dengan dedaunan, sehingga sinar matahari akan sulit secara langsung menrpa daun tetapi hal ini dimungkinkan oleh proses pantulan atau biasan. Proporsi radiasi yang diserap oleh tiap-tiap bagian daun tidak sama, akan tetapi penyerapan yang paling besar adalah pada hutan yang memiliki tajuk yang susunannya tidak teratur (Irwan, 2003).
Kondisi hutan pada lokasi ini secara ekologis menguntungkan karena hutan dengan dua strata dan adanya penutupan tumbuhan bawah dari segi konservasi tanah sangat menguntungkan, tanah terlindung dari proses erosi. Dalam paradigma lama tumbuhan bawah kadangkala dianggap sebagai gulma ketika hutan mulai ditanam, tetapi sebenarnya dengan pemeliharaan yang baik maka tumbuhan bawah tidak menjadi gulma dan setelah semai telah cukup umur maka tumbuhan bawah tidak lagi menjadi gulma bagi tanaman pokok. Lingkungan tropika ditandai oleh keanekaragaman yang besar pada habitat dan habitat-mikro tumbuhan dan hewan. Sebagai contoh, kalau lahan hutan daerah iklim sedan sering terdiri dari satu lapis pepohonan dengan belukar dan flora teduhan, hutan tropika basah tak saja mempunyai tiga tingkatan pepohonan tetapi juga komunitas bawahan (sinusia), yang terdiri dari tumbuhan merambat dan epifit yang lebih memperbanyak lagi habitat-mikro dalam ketiga tingkatan pohon itu, dan juga belukar dan flora teduhan (Ewusie, 1990).
Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat. Proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Disini siklus hara dapat berlangsung sempurna, guguran daun yang jatuh sebagai seresah akan dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri. Tumbuhan bawah tidak akan bersaing dengan tumbuhan pokok karena tumbuhan pokok mempunyai sistem perakaran yang lebih dalam, dan jenis yang berbeda mempunyai kebutuhan unsur hara yang berbeda. Tanaman bawah bukan sebagai ”pencekik” yang merugikan jati sebagai tanaman pokok Jati sebagai tanaman jenis intoleran akan tumbuh lebih baik, tidak bersaing dengan tanaman bawah untuk mendapatkan cahaya matahari karena posisi jati pada strata satu, mendapatkan sinar matahari secara leluasa untuk proses fotosintesis    (Arifin, 2001).
Indeks kekayaan spesies (S), yaitu jumlah total species dalam satu komunitas. S tergantung dari ukuran sampel (dan waktu yang diperlukan untuk mencapainya), ini dibatasi sebagai indeks komperatif. Karena itu, sejumlah indeks diusulkan untuk menghitung kekayaan species yang tergantung pada ukuran sampel. Ini disebabkan karena hubungan antara S dan jumlah total individu yang diobservasi, n, yang meningkat dengan meningkatnya ukuran sampel. Peet (1974) mengatakan jika asumsi bahwa ada hubungan fungsional S dan n dalam komunitas S = kÖn, dimana K = konstan harus dapat dipertahankan. Jika tidak indeks kekayaan akan berubah dengan ukuran sampel. Salah satu alternatif untuk indeks kekayaan dengan menghitung secara langsung (Cornell dan Orias,1964).
Tumbuhan bawah secara umum merugikan, namun tumbuhan bawah yang tumbuh di tempat tumbuhnya, apabila belum mencapai tingkatan kerapatan, penutupan, dan tinggi yang telah dianggap mulai merugikan, adakalanya memberikan manfaat pada tempat tumbuhnya dan kelestarian lingkungan. Tumbuhan bawah dapat juga memberikan manfaat dalam situasi tertentu, misalnya apabila tumbuh pada tanah yang curam, sehingga mencegah erosi. Keanekaragaman flora dan fauna di suatu wilayah tidak terlepas dari dukungan kondisi di wilayah itu. Ada tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis, dimana banyak curah hujan dan sinar matahari, dan ada yang hanya dapat tumbuh di daerah yang dingin dan lembab. Dukungan kondisi suatu wilayah terhadap keberadaan flora dan fauna berupa faktor-faktor fisik (abiotik) dan faktor non fisik (biotik). Yang termasuk faktor fisik (abiotik) adalah iklim (suhu, kelembaban udara, angin), air, tanah, dan ketinggian, dan yang termasuk faktor non fisik (biotik) adalah manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan      Sedangkan suatu komunitas yang sedang berkembang pada tingkatan suksesi mempunyai jumlah jenis rendah daripada komunitas yang sudah mencapai klimaks. Komunitas yang mempengaruhi keanekaragaman yang tinggi lebih tidak mudah terganggu oleh pengaruh lingkungan. Jadi dalam   suatu komunitas yang keanekaragamannya tinggi akan tejadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi, predasi, kompetisi dan niche yang lebih kompleks Keragaman jenis dihitung dengan menggunakan indeks keragaman jenis yang merupakan perbandingan antara jumlah dari jenis dan nilai penting atau jumlah atau biomassa atau produktivitas dari individu-individu (Brewer, 1988).

 

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
            Praktikum yang berjudul “Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah” ini dilaksanakan pada hari Kamis, 13 November  2014 pukul 15.00 WIB sampai dengan selesai. Praktikum ini dilakukan di Hutan Tri Dharma dan Ekosistem padang rumput, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ekosistem hutan, ekosistem padang rumput dan buku data.
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
·         Meteran 20 m dan 1 m untuk mengukut areal penelitian
·         Patok berfungsi sebagai pacak pembatas areal penelitian
·         Tali plastik/rafia sebagai pembatas areal penelitian
·         Kalkulator untuk menghitung data
·         Buku petunjuk pengenalan jenis tumbuhan bawah sebagai panduan
·         Alat tulis untuk menulis data
Prosedur Kerja
  1. Dibuat petak contoh pengamatan dengan ukuran 1 m x 5 m di masing-masing ekosistem yang akan diamati. Untuk memudahkan pengukuran dan pengamatan, petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi 1 m x 1 m.
  2. Dihitung banyaknya jenis dan banyaknya individu-individu setiap jenis yang ada.
  3. Jenis dan individu yang dihitung adalah tumbuhan yang sudah tumbuh lengkap (dapat diidentifikasi).
  4. Dilakukan analisis perbandingan nilai kekayaan, keragaman, dan kemerataan dari kedua ekosistem tersebut dengan menggunakan formulasi:
 

a.       Indeks kekayaan dari Margalef
keterangan
R1 = Indeks Margalef
S = jumlah jenis
n = jumlah total individu
b.      Indeks keanekaragaman dari Shannon – Wieners
keterangan
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener
S = jumlah jenis
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = Total seluruh individu
c.       Indeks kemerataan
keterangan
E = Indeks kemerataan
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener
S = jumlah jenis















 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
            Hasil yang diperoleh dari praktikum ini adalah pada tabel berikut.
Tabel 1. Analisis keanekaragaman tumbuhan bawah pada ekosistem hutan
No. Sub Petak
No. jenis
Nama Jenis
Jumlah
1
1
 Jukutpahit(Axonopus compesus)
31

2
 Rumput setwar(Borrea latifolia)
3
2
1
Jukutpahit (Axonopus compesus)
24

2
Rumput setwar (Borrea latifolia)
5
3
1
Jukutpahit (Axonopus compesus)
19

2
Rumput setwar (Borrea latifolia)
2
4
1
Jukutpahit (Axonopus compesus)
34

2
Rumput setwar (Borrea latifolia)
4
5
1
Jukutpahit (Axonopus compesus)
28

2
Rumput setwar (Borrea latifolia)
5

Perhitungan:
1.        Indeks kekayaan Margalef
R1 =      
             =       =  0,3965
2.        Indeks keanekaragaman dari shannon - wiener
H’ = -
H’ = - [(108/155) ln 108/155)]+[(19/155) ln 19/155)]
     = - [-0,3718]      =  0,3718
3.        Indeks kemerataan
E =
    =  =  0,5364
            Dari hasil perhitungan pada ekosistem hutan diperoleh hasil bahwa indeks kekayaan margalef dari ekosistem hutan adalah 0,3965, indeks kekayaan Shannon–Wieners 0,3718, dan indeks kemerataan 0,5364. Indeks kekayaan pada ekosistem tersebut tergolong rendah, sedangkan indeks kemerataannya sedang.
Tabel 2. Analisis keanekaragaman tumbuhan bawah pada ekosistem padang rumput
No. Sub Petak
No. jenis
Nama Jenis
Jumlah
1
1
Putri malu(mimusa pudica)
23

2
Rumput teki( cyperus kyllingia)
31
2
1
Rumput teki( cyperus kyllingia)
13

2
Rumputsetawar(borreria latifolia)
14
3
1
Rumputsetawar(borreria latifolia)
21

2
Paku (diplazium esculentum)
10
4
1
Putri malu(mimusa pudica)
10

2
Rumput teki( cyperus kyllingia)
32

3
Rumputsetawar(borreria latifolia)
12
5
1
Rumput teki( cyperus kyllingia)
15

2
Putri malu(mimusa pudica)
10

Perhitungan:
1.        Indeks kekayaan Margalef
R1 =
             =       =  0,364
2.        Indeks keanekaragaman dari shannon - wiener
H’ = -
H’ = - [(83/242) ln 83/242)]+[(84/242) ln 84/242)] +[(75/242) ln 75/242)]
     = - [-1,097]      =   1,097
3.        Indeks kemerataan
E =
    =  = 0,998
             
Pembahasan
             Dari hasil perhitungan pada ekosistem non hutan (ekosistem padang rumput) diperoleh hasil bahwa indeks kekayaan margalef dari ekosistem padang rumput adalah adalah 0,364, indeks kekayaan Shannon–Wieners 1,097, dan indeks kemerataan 0,998. Indeks kekayaan margalef pada ekosistem tersebut tergolong rendah, indeks kekayaan Shannon–Wieners tinggi, dan indeks kemerataanny  a tinggi.
            Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa pada ekosistem non hutan (padang rumput) jenisnya lebih banyak daripada jenis di ekosistem hutan. Dimana pada ekosistem hutan terdapat 2 jenis tumbuhan bawah dan pada ekosistem non hutan terdapat 3 jenis tumbuhan bawah pada petak contoh yang diamati. Pada ekosistem hutan jenis tumbuhan bawah yang paling dominan adalah Axonopus compesus dengan jumlah 136 individu. Jumlah individu pada ekosistem padang rumput lebih banyak dengan jumlah 242 individu daripada jumlah individu pada ekosistem hutan dengan jumlah 155 individu. Hal itu disebabkan karena pada ekosistem hutan terdapat penutupan tajuk sehingga cahaya yang sampai ke lantai hutan sangat sedikit yang menyebabkan terjadi persaingan cahaya. Dalam praktikum ini analisis keanekaragaman hayati yang digunakan adalah indeks kekayaan, indeks keanekaragaman, dan indeks kemerataan. Hal itu karena indeks tersebut merupakan parameter yang biasa digunakan dalam perhitungan analisis keaneragaman. Sesuai dengan pernyataan Irwan (2003)  yang menyatakan bahwa keanekaragaman yang utama adalah kekayaan spesies atau Richness (S), kemerataan atau Evenness (E), dan indeks keragaman atau index of diversity (H’).
     Dari perhitungn yang dilakukan diperoleh indeks kemerataan pada ekosistem hutan adalah 0,5364 dan indeks kemerataan pada eekosistem padang rumput 0,998, sedangkan indeks keanekaragaman pada ekosistem hutan 0,3718 dan pada ekosistem padang rumput 1,097. Dari nilai tersebut berarti tumbuhan bawah pada ekosistem padang rumput lebih rapat daripada pada ekosistem hutan.   Dari data analisis keanekaragaman tumbuhan bawah terdapat perbedaan pada ekosistem hutan dan ekosistem padang rumput. Itu berarti kita dapat melihat perbedaan keanekaragaman tumbuhan bawah dari dua ekosistem yang berbeda. Hal itu sesuai dengan pernyataan dari Kumar (1995) yang menyatakan bahwa Indeks keragaman jenis merupakan parameter yang sangat banyak digunakan untuk membandingkan data komunitas tumbuhan terutama untuk mempelajari pengaruh dari gangguan faktor biotik atau untuk mengetahui tingkat tahapan suksesi dan kestabilan dari komunitas tumbuhan.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jumlah jenis dan jumlah individu pada ekosistem padang rumput lebih bayak daripada pada ekosistem hutan.
2.  Jenis tumbuhan bawah yang paling dominan pada ekosistem hutan adalah Axonopus compesus dengan jumlah 136 individu.
3. Indeks kemerataan pada ekosistem hutan adalah 0,5364 dan indeks kemerataan pada eekosistem padang rumput 0,998.
4. Indeks keanekaragaman tumbuhan bawah pada ekosistem hutan 0,3718 dan pada ekosistem padang rumput 1,097.
5. Tumbuhan bawah pada ekosistem padang rumput lebih rapat daripada tumbuhan bawah pada ekosistem hutan.
Saran
            Saran untuk praktikum ini adalah harus lebih teliti dalam mendata jenis tumbuhan yang terdapat pada setiap petak contoh agar nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh benar-benar sesuai dengan keadaan di lapangan.













DAFTAR PUSTAKA
Arifin, A. 2001. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan.
 Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Brewer,R .1988. The Science Of Ecology. W.B Saunders Company.    Philadelphia

Cornell, J and E. Orias. 1964. The Ecological Regulation of Species Diversity.    A. N

Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Intstitut Teknologi Bandung. Bandung

Irwan, Z.D. 2003. Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta

Kumar, H.D.1995. Modern Concepts of Ecology. 8th Revised Edition. Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi

Odum, E. P. 1966. Fundamentals of Ecology, Second Edition. W. B. Saunders. Philadelphia

Onrizal. 2008. Petunjuk Praktikum Ekologi Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan

Primack, R. B. 1998. Biologi Kenservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Suin, N.M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas Press. Padang





Tidak ada komentar:

Posting Komentar