
Latar Belakang
Keanekaragaman yang tinggi akan menghasilkan kestabilan lingkungan yang
mantap. Keanekaragaman ekosistem, tercakup di dalamnya genetik, jenis beserta
lingkungannya. Keanekaragaman ekosistem merupakan keanekaragaman hayati yang paling
kompleks. Berbagai keanekaragaman ekosistem yang ada di Indonesia misalnya
ekosistem hutan, lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan
berbagai ekosistem lainnya. yang terbentang dari mulai gunung sampai ke laut.
Keanekaragaman hayati menyediakan berbagai barang dan jasa, mulai dari pangan,
energi, dan bahan produksi hingga sumber daya genetik bahan dasar pemuliaan
tanaman komoditas serta obat. Selain itu keanekaragaman hayati juga berfungsi
untuk mendukung sistem kehidupan, seperti menjaga kualitas tanah,
menyimpan-memurnikan dan menjadi reservoir air, menjaga siklus pemurnian udara,
siklus karbon, dan nutrisi Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta
keanekaragaman hayati dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati tertinggi (Primack,1998).
Hutan adalah salah satu kekayaan bumi Indonesia yang tidak ternilai dan
merupakan sebuah ekosistem dengan kandungan kekayaan alam yang sangat potensial
untuk digali serta digunakan untuk kepentingan manusia. Tetapi, selalu ada sebuah
komitmen dalai usaha pendayagunaan hutan sebagai aset alam. Yaitu komitmen yang tertuang dalam konsep asas
manfaat dan lestari. Ini berarti, kegiatan pemanfaatan hutan harus diimbangi
dengan upaya pelestariannya. Pemanfaatan hutan tidak boleh melanggar
kelestarian lingkungan hutan yang terus dijaga dan dipelihara. Untuk keperluan
tersebut, perlu kiranya diketahui potensi yang ada pada hutan tersebut. Salah
satu pendekatannya yaitu dengan mengetahui besarnya biomassa pohon yang merupakan
salah satu komponen penting dalam hutan (Odum,1966).

Memelihara keanekaragaman mahluk hidup adalah dasar dalam perkembangan
kelestarian ekologi terhadap tiga alasan mendasar, yaitu : keanekaragaman mahluk hidup sangat penting
dalam memelihara kelangsungan hidup dari sistem ekologi yang mendukung
produktivitas pada zaman sekarang; kebutuhan masa mendatang yang tidak dapat
diprediksi dan mempunyai nilai potensial dari spesies yang dapat punah; dan
pemahaman kita terhadap ekosistem adalah tidak cukup meyakinkan atas peranan
mereka dan untuk menentukan pengaruh dari penghapusan dari komponen-komponen
yang ada. Kehilangan dari sebuah ekosistem yang kritis dapat mempunyai efek
yang tidak dapat balik dan bencana besar. Antara kesehatan manusia dan
produktivitas hasil pertanian yang tinggi mengandalkan pemeliharaan dari
keanekaragaman biota yang terdiri dari perkiraan 10 juta spesies-spesies dari
tumbuhan-tumbuhan dan hewan-hewan (Kumar, 1995).
Tujuan
Tujuan dari praktikum
Analisis Keanekaragaman Tumbuhan Bawah ini adalah untuk menghitung dan
mempelajari keanekaragaman tumbuhan bawah pada tingkat jenis di ekosistem hutan
dan ekosistem non- hutan atau padang rumput.
![]() |





Kondisi hutan pada
lokasi ini secara ekologis menguntungkan karena hutan dengan dua strata dan
adanya penutupan tumbuhan bawah dari segi konservasi tanah sangat
menguntungkan, tanah terlindung dari proses erosi. Dalam paradigma lama tumbuhan
bawah kadangkala dianggap sebagai gulma ketika hutan mulai ditanam, tetapi
sebenarnya dengan pemeliharaan yang baik maka tumbuhan bawah tidak menjadi
gulma dan setelah semai telah cukup umur maka tumbuhan bawah tidak lagi menjadi
gulma bagi tanaman pokok. Lingkungan tropika ditandai oleh
keanekaragaman yang besar pada habitat dan habitat-mikro tumbuhan dan hewan.
Sebagai contoh, kalau lahan hutan daerah iklim sedan sering terdiri dari satu
lapis pepohonan dengan belukar dan flora teduhan, hutan tropika basah tak saja
mempunyai tiga tingkatan pepohonan tetapi juga komunitas bawahan (sinusia),
yang terdiri dari tumbuhan merambat dan epifit yang lebih memperbanyak lagi
habitat-mikro dalam ketiga tingkatan pohon itu, dan juga belukar dan flora
teduhan (Ewusie, 1990).
Tumbuhan bawah
berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses
dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat. Proses dekomposisi yang cepat dapat
menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok. Disini siklus hara dapat
berlangsung sempurna, guguran daun yang jatuh sebagai seresah akan dikembalikan
lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri.
Tumbuhan bawah tidak akan bersaing dengan tumbuhan pokok karena tumbuhan pokok
mempunyai sistem perakaran yang lebih dalam, dan jenis yang berbeda mempunyai
kebutuhan unsur hara yang berbeda. Tanaman bawah bukan sebagai ”pencekik” yang
merugikan jati sebagai tanaman pokok Jati sebagai tanaman jenis intoleran akan
tumbuh lebih baik, tidak bersaing dengan tanaman bawah untuk mendapatkan cahaya
matahari karena posisi jati pada strata satu, mendapatkan sinar matahari secara
leluasa untuk proses fotosintesis
(Arifin, 2001).

Tumbuhan bawah secara umum
merugikan, namun tumbuhan bawah yang tumbuh di tempat tumbuhnya, apabila belum
mencapai tingkatan kerapatan, penutupan, dan tinggi yang telah dianggap mulai
merugikan, adakalanya memberikan manfaat pada tempat tumbuhnya dan kelestarian
lingkungan. Tumbuhan bawah dapat juga memberikan manfaat dalam situasi
tertentu, misalnya apabila tumbuh pada tanah yang curam, sehingga mencegah
erosi. Keanekaragaman flora dan
fauna di suatu wilayah tidak terlepas dari dukungan kondisi di wilayah itu. Ada
tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis, dimana banyak
curah hujan dan sinar matahari, dan ada yang hanya dapat tumbuh di daerah yang
dingin dan lembab. Dukungan kondisi suatu wilayah terhadap keberadaan flora dan
fauna berupa faktor-faktor fisik (abiotik) dan faktor non fisik (biotik). Yang
termasuk faktor fisik (abiotik) adalah iklim (suhu, kelembaban udara, angin),
air, tanah, dan ketinggian, dan yang termasuk faktor non fisik (biotik) adalah
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan Sedangkan suatu komunitas yang sedang
berkembang pada tingkatan suksesi mempunyai jumlah jenis rendah daripada
komunitas yang sudah mencapai klimaks. Komunitas yang mempengaruhi
keanekaragaman yang tinggi lebih tidak mudah terganggu oleh pengaruh
lingkungan. Jadi dalam suatu komunitas
yang keanekaragamannya tinggi akan tejadi interaksi spesies yang melibatkan
transfer energi, predasi, kompetisi dan niche yang lebih kompleks Keragaman
jenis dihitung dengan menggunakan indeks keragaman jenis yang merupakan
perbandingan antara jumlah dari jenis dan nilai penting atau jumlah atau
biomassa atau produktivitas dari individu-individu (Brewer, 1988).
![]() |

Waktu dan Tempat
Praktikum yang berjudul “Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah” ini dilaksanakan pada hari Kamis, 13
November 2014 pukul 15.00 WIB sampai dengan
selesai. Praktikum ini
dilakukan di Hutan Tri
Dharma dan Ekosistem padang rumput, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah ekosistem hutan, ekosistem padang
rumput dan buku data.
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
·
Meteran
20 m dan 1 m untuk mengukut areal penelitian
·
Patok
berfungsi sebagai pacak pembatas areal penelitian
·
Tali
plastik/rafia sebagai pembatas areal penelitian
·
Kalkulator
untuk menghitung data
·
Buku
petunjuk pengenalan jenis tumbuhan bawah sebagai panduan
·
Alat
tulis untuk menulis data
Prosedur Kerja
- Dibuat petak contoh pengamatan dengan ukuran
1 m x 5 m di masing-masing ekosistem yang akan diamati. Untuk memudahkan
pengukuran dan pengamatan, petak contoh tersebut dibagi lagi menjadi 1 m x
1 m.
- Dihitung banyaknya jenis dan banyaknya
individu-individu setiap jenis yang ada.
- Jenis dan individu yang dihitung adalah
tumbuhan yang sudah tumbuh lengkap (dapat diidentifikasi).
- Dilakukan analisis perbandingan nilai kekayaan, keragaman, dan kemerataan dari kedua ekosistem tersebut dengan menggunakan formulasi:
![]() |
a. Indeks
kekayaan dari Margalef

keterangan
R1 = Indeks Margalef
S = jumlah jenis
n = jumlah total individu
b. Indeks
keanekaragaman dari Shannon – Wieners

keterangan
H’ =
Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener
S = jumlah jenis
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = Total seluruh individu
c. Indeks
kemerataan

keterangan
E = Indeks kemerataan
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener
S = jumlah jenis
![]() |

Hasil
Hasil
yang diperoleh dari praktikum ini adalah pada tabel berikut.
Tabel 1. Analisis keanekaragaman
tumbuhan bawah pada ekosistem hutan
No. Sub Petak
|
No. jenis
|
Nama Jenis
|
Jumlah
|
1
|
1
|
Jukutpahit(Axonopus compesus)
|
31
|
|
2
|
Rumput
setwar(Borrea latifolia)
|
3
|
2
|
1
|
Jukutpahit (Axonopus compesus)
|
24
|
|
2
|
Rumput
setwar (Borrea latifolia)
|
5
|
3
|
1
|
Jukutpahit (Axonopus compesus)
|
19
|
|
2
|
Rumput
setwar (Borrea latifolia)
|
2
|
4
|
1
|
Jukutpahit (Axonopus compesus)
|
34
|
|
2
|
Rumput
setwar (Borrea latifolia)
|
4
|
5
|
1
|
Jukutpahit (Axonopus compesus)
|
28
|
|
2
|
Rumput
setwar (Borrea latifolia)
|
5
|
Perhitungan:
1.
Indeks kekayaan Margalef
R1
=

=
= 0,3965

2.
Indeks keanekaragaman dari shannon - wiener
H’ = - 

H’ = -
[(108/155) ln 108/155)]+[(19/155) ln 19/155)]
= - [-0,3718] = 0,3718
3.
Indeks kemerataan
E = 

=
= 0,5364

Dari hasil perhitungan pada
ekosistem hutan diperoleh hasil bahwa indeks kekayaan margalef dari ekosistem
hutan adalah 0,3965, indeks kekayaan Shannon–Wieners 0,3718, dan indeks
kemerataan 0,5364. Indeks kekayaan pada ekosistem tersebut tergolong rendah,
sedangkan indeks kemerataannya sedang.
Tabel 2. Analisis
keanekaragaman tumbuhan bawah pada ekosistem padang rumput
No. Sub Petak
|
No. jenis
|
Nama Jenis
|
Jumlah
|
1
|
1
|
Putri
malu(mimusa pudica)
|
23
|
|
2
|
Rumput
teki( cyperus kyllingia)
|
31
|
2
|
1
|
Rumput
teki( cyperus kyllingia)
|
13
|
|
2
|
Rumputsetawar(borreria latifolia)
|
14
|
3
|
1
|
Rumputsetawar(borreria latifolia)
|
21
|
|
2
|
Paku
(diplazium esculentum)
|
10
|
4
|
1
|
Putri
malu(mimusa pudica)
|
10
|
|
2
|
Rumput
teki( cyperus kyllingia)
|
32
|
|
3
|
Rumputsetawar(borreria latifolia)
|
12
|
5
|
1
|
Rumput
teki( cyperus kyllingia)
|
15
|
|
2
|
Putri
malu(mimusa pudica)
|
10
|
Perhitungan:
1.
Indeks kekayaan Margalef
R1 = 

=
= 0,364

2.
Indeks keanekaragaman dari shannon - wiener
H’ = - 

H’ = - [(83/242)
ln 83/242)]+[(84/242) ln 84/242)] +[(75/242) ln 75/242)]
= - [-1,097] = 1,097
3.
Indeks kemerataan
E = 

=
= 0,998

Pembahasan
Dari hasil perhitungan pada ekosistem non
hutan (ekosistem padang rumput) diperoleh hasil bahwa indeks kekayaan margalef
dari ekosistem padang rumput adalah adalah 0,364, indeks kekayaan
Shannon–Wieners 1,097, dan indeks kemerataan 0,998. Indeks kekayaan margalef
pada ekosistem tersebut tergolong rendah, indeks kekayaan Shannon–Wieners
tinggi, dan indeks kemerataanny a tinggi.
Dari hasil diatas dapat dilihat
bahwa pada ekosistem non hutan (padang rumput) jenisnya lebih banyak daripada
jenis di ekosistem hutan. Dimana pada ekosistem hutan terdapat 2 jenis tumbuhan
bawah dan pada ekosistem non hutan terdapat 3 jenis tumbuhan bawah pada petak
contoh yang diamati. Pada ekosistem hutan jenis tumbuhan bawah yang paling
dominan adalah Axonopus compesus
dengan jumlah 136 individu. Jumlah individu pada ekosistem padang rumput lebih
banyak dengan jumlah 242 individu daripada jumlah individu pada ekosistem hutan
dengan jumlah 155 individu. Hal itu disebabkan karena pada ekosistem hutan
terdapat penutupan tajuk sehingga cahaya yang sampai ke lantai hutan sangat
sedikit yang menyebabkan terjadi persaingan cahaya. Dalam praktikum ini
analisis keanekaragaman hayati yang digunakan adalah indeks kekayaan, indeks
keanekaragaman, dan indeks kemerataan. Hal itu karena indeks tersebut merupakan
parameter yang biasa digunakan dalam perhitungan analisis keaneragaman. Sesuai
dengan pernyataan Irwan (2003) yang
menyatakan bahwa keanekaragaman yang utama adalah kekayaan spesies atau
Richness (S), kemerataan atau Evenness (E), dan indeks keragaman atau index of
diversity (H’).
Dari perhitungn yang dilakukan
diperoleh indeks kemerataan pada ekosistem hutan adalah 0,5364 dan indeks
kemerataan pada eekosistem padang rumput 0,998, sedangkan indeks keanekaragaman
pada ekosistem hutan 0,3718 dan pada ekosistem padang rumput 1,097. Dari nilai
tersebut berarti tumbuhan bawah pada ekosistem padang rumput lebih rapat
daripada pada ekosistem hutan. Dari data
analisis keanekaragaman tumbuhan bawah terdapat perbedaan pada ekosistem hutan
dan ekosistem padang rumput. Itu berarti kita dapat melihat perbedaan
keanekaragaman tumbuhan bawah dari dua ekosistem yang berbeda. Hal itu sesuai
dengan pernyataan dari Kumar (1995) yang menyatakan bahwa Indeks keragaman
jenis merupakan parameter yang sangat banyak digunakan untuk membandingkan data
komunitas tumbuhan terutama untuk mempelajari pengaruh dari gangguan faktor
biotik atau untuk mengetahui tingkat tahapan suksesi dan kestabilan dari
komunitas tumbuhan.

Kesimpulan
1. Jumlah jenis dan jumlah individu pada ekosistem
padang rumput lebih bayak daripada pada ekosistem hutan.
2. Jenis
tumbuhan bawah yang paling dominan pada ekosistem hutan adalah Axonopus compesus dengan jumlah 136
individu.
3. Indeks kemerataan pada ekosistem hutan adalah
0,5364 dan indeks kemerataan pada eekosistem padang rumput 0,998.
4. Indeks keanekaragaman tumbuhan bawah pada
ekosistem hutan 0,3718 dan pada ekosistem padang rumput 1,097.
5. Tumbuhan bawah pada ekosistem padang rumput lebih
rapat daripada tumbuhan bawah pada ekosistem hutan.
Saran
Saran
untuk praktikum ini adalah harus lebih teliti dalam mendata jenis tumbuhan yang
terdapat pada setiap petak contoh agar nilai indeks keanekaragaman yang
diperoleh benar-benar sesuai dengan keadaan di lapangan.

Arifin, A. 2001. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya
terhadap Lingkungan.
Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta
Brewer,R .1988. The Science Of Ecology. W.B Saunders
Company. Philadelphia
Cornell, J and E. Orias.
1964. The Ecological Regulation of
Species Diversity. A. N
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Intstitut Teknologi
Bandung. Bandung
Irwan, Z.D. 2003. Ekosistem Komunitas dan
Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta
Kumar, H.D.1995. Modern Concepts
of Ecology. 8th Revised Edition. Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi
Odum, E. P. 1966. Fundamentals
of Ecology, Second Edition. W. B.
Saunders. Philadelphia
Onrizal. 2008. Petunjuk Praktikum Ekologi
Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan
Primack, R. B.
1998. Biologi
Kenservasi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta
Suin, N.M. 2002. Metoda
Ekologi. Universitas Andalas Press. Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar